Perlindungan Konsumen
A.
Pengertian
Konsumen
Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan Jika tujuan pembelian produk tersebut
untuk dijual kembali (Jawa: kulakan),
maka dia dis.ebut pengecer atau distributor.
B.
Azas dan Tujuan
Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa
tujuan perlindungan konsumen adalah:
1.
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa
3.
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen
4. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas
manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa
penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua
pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya
lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh
hak-haknya.
2. Asas
keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak
yang lebih dilindungi.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas
kepastian hokum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hokum
C.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak
konsumen
Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut:
·
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan .
·
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
·
Hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yangditerima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban
Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen,Kewajiban Konsumen adalah :
·
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,
demi keamanan dan keselamatan;
·
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
·
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
·
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut
D.
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3. hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4.
hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7
UUPK adalah:
1.
beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
E.
Perbuatan
yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1. tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
6. tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
8. tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
9. tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
10.
tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya
kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih
spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan
yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.
Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket
maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan
sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa
itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh)
lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai
atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik
lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan
tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan
lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah
berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan
utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu
sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat
(1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta
wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama,
ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran ayat (3). Ternyata untuk
pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan
yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
F.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Bentuk-bentuk
pertanggungjawaban pelaku usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut:
· Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab
pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen karena mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1)
UUPK).
· Ganti kerugian yang dapat diberikan
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan (Pasal 19 ayat (2)
· Tenggang waktu pemberian ganti kerugian
dilaksanakan dalam 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19
ayat (3)
· Pemberian ganti kerugian tersebut ridak
menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan. (Pasal 19 ayat (4) UUPK ).
· Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat
(1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (Pasal 19 ayat (5)
UUPK).
Pasal 20 UUPK menegaskan
tanggung jawab pelaku usaha periklanan atas iklan yang diproduksinya dan segala
akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21 UUPK menetapkan
tanggung jawab importir mengenai barang/atau jasa yang dipasarkannya :
· Importir barang bertanggung jawab
sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak
dilakukab oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri (Pasal 21 ayat
(1) UUPK).
· Importir jasa bertanggung jawab sebagai
penyedia jasa asing, apabila jasa asing tersebut todak dilakukan oleh agen atau
perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21 ayat (2) UUPK).
Pasal 22 UUPK menetapkan
pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian.
Pasal 23 UUPK menetapkan bagi
pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Pasal 24 ayat (1) UUPK menetapkan
tanggung jawab pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku
usaha lain atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :
· Pelaku usaha lain menjual kepada
konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
· Pelaku usaha lain, di dalam transaksi
jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan
oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
Dalam Pasal 24 ayat (2) : pelaku
usaha sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali
kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25 ayat (1) UUPK mewajibkan
pelaku usaha untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun bagi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan,
serta wajib untuk memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Dalam ayat (2) Pelaku
usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan, atau tidak/gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang dijanjikan.
Pasal 26 UUPK menegaskan
kewajiban pelaku usaha yang memperdagangkan jasa untuk memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.
Pasal 27 UUPK menetapkan
hal-hal yang dapat membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh konsumen, apabila :
· Barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
·
Cacat barang timbul di kemudian hari;
·
Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·
Kelalaian yang diakibatkan konsumen.
·
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4
(empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28 UUPK kembali
ditegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
G. Sanksi
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi
Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
·
Kurungan Penjara, 5 tahun, atau denda
Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15,
17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
· Ketentuan pidana lain (di luar
Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
-
Pengumuman keputusan Hakim
-
Pencabuttan izin usaha;
-
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
;
-
Wajib menarik dari peredaran barang dan
jasa;
-
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada
masyarakat .
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar