Minggu, 29 Mei 2016

Hukum Perjanjian

Hukum Perjanjian
A.   Standar Kontrak
Pengertian
Standar kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan) perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman) is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice butto accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction. 
Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yangmenutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak sertadibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampirtidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yangditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1.   Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dandisodorkan kepada debitur.
2.    Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah
Jenis-jenis Standar Kontrak
Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi: 
1.      kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;  
2.      kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak; 
3.      kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga. 
Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakandua bentuk kontrak standar, yaitu: 
1.      kontrak standar menyatu;  
2.      kontrak standar terpisah. 
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara: 
1.      kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;  
2.      kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan

B.   Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Formil
  1. Perjanjian Konsensuil merupakan perjanjian yang dianggap sah kalau sudah ada consensus diantara para pihak yang membuat. Perjanjian semacam ini untuk sahnya tidak memerlukan bentuk tertentu.
  2. Perjanjian Formil merupakan suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notariil. Jadi perjanjian semacam ini baru dianggap sah jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka perjanjian dianggap tidak pernah ada
Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik
  1. Perjanjian Sepihak merupakan suatu perjanjian dengan mana hak dan kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja. (contoh : perjanjian hibah/pemberian, maka dalam hal itu yang dibebani kewajiban hanya salah satu pihak, yaitu pihak yang member, dan pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi kepada pihak yang memberi).
  2. Perjanjian Timbal Balik merupakan suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak (misal : perjanjian jual-beli, perjanjian tukar-menukar, dll.).
Perjanjian Obligator dan Perjjanjian Zakelijk
  1. Perjanjian Obligatoir merupakan suatu perjanjian yang hanya membebankan kewajiban bagi para pihak, sehingga dengan perjanjian di situ baru menimbulkan perikatan (contoh: pada perjanjian jual-beli, maka dengan sahnya perjanjian jual-beli itu belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi dari perjanjian itu menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan barang dan pihak pembeli diwajibkan membayar sesuai dengan harganya. Selanjutnya untuk beralihnya suatu benda secara nyata harus ada levering/penyerahan, baik secara yuridis maupun empiris) .
  2. Perjanjian Zakelijk merupakan perjanjian penyerahan benda atau levering yang menyebabkan seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda yang bersangkutan. Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru perjanjian itu sendiri yang menyebabkan beraluhnya hak milik atas benda.
Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accesoir
  1. Perjanjian Pokok merupakan suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada perjanjian yang lainnya (contoh : perjanjian jual-beli, perjanjian kredit, dll.).
  2. Perjanjian Accessoir merupakan suatu perjanjian yang keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok. Dengan demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanay perjanjian pokok (contoh : perjanjian hak tanggungan, perjanjian pand, perrjanjian penjaminan, dll.).

Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
  1. Perjanjian Bernama merupakan perjanjian-perjanjian yang disebut serta diatur dai dlam Buku III KUHPerdata atau di dalam KUHD, seperti : perjanjian jual-beli, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dll.
  2. Perjanjian tidak Bernama merupakan perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, antara lain : perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan, perjanjian jual-beli dengan angsuran/cicilan.

C.   Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut 3 pasal 1321 KUH Perdata  menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata yaitu :
a.       Orang yang belum dewasa
b.      Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c.       Orang-orang perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hokum.
3.      Suatu hal tertentu
Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu prjanjian”
Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagian produk suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.”

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4.      Suatu sebeb yang diperkenankan
Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang—undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hokum.

D.   Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
a.       Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
b.      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
c.       Terkait resolusi atau perintah pengadilan
d.      Terlibat Hukum
e.       Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

E.   Prestasi dan Wanprestasi

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni:

a.       Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
b.      Harus mungkin
c.       Harus diperbolehkan (halal)
d.      Harus ada manfaatnya bagi kreditur
e.       Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.

Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”. (Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.)

Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.
  3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
  4. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.(R.Subekti, Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 .) 


H. Mariam Darus Badrulzaman SH, mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena dabitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya. (R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet ke-IV (Jakarta: Pembimbing Masa, 1979), Hal 59.)

Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan tidask selayaknya. (M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal 60.)

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi.

Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan wanprestasi bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat memberikan prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam pejanjian”.

Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari suatu perjanjian, pabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut..

Macam-Macam Prestasi dan Wanprestasi
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Maka dari itu wujud prestasi itu berupa : 

a. Memberikan Sesuatu
Dalam pasal 1235 dinyatakan :“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya.

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”

Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya memelihara barang kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain,yang tidak akan diserahkan kepada orang lain.(Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 5.
) Kewajiban merawat dengan baik berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus menerimanya. Penyerahan dalam pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis. (J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 84.)

b. Berbuat Sesuatu
Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan perbuatan tertentu.(Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 19.) Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak. Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat.(Ibid.) Artinya sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.

c. Tidak Berbuat Sesuatu
Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan.Ibid. Jadi wujud prestasi di sini adalah tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.J.Satrio, Op. cit, hal. 52. Disini bila ada pihak yang berbuat tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas akibatnya.

d. Wujud wanprestasi
Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi dapat diketahui melalui 3 keadaan berikut :Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 20.

1.  Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

2.  Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.

3.  Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya
Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Prof. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.

Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar